Trending topik: Perang Dagang Dua Raksasa
PERANG DAGANG DUA RAKSASA
Bicara
soal bisnis internasional, isu yang sedang hangat yaitu perang dagang antara
Amerika dan China. Menurut beberapa ahli perang dagang wajar terjadi, hal
tersebut terjadi karena antar negara memiliki keinginan untuk mempertahankan
ekonomi negaranya masing-masing terutama di era perdagangan bebas ini. Namun,
perang dagang antara Amerika dan China begitu
menjadi sorotan dunia. Hal ini wajar,, karena kedua negara tersebut adalah
penguasa pertama dan kedua perdagangan dunia saat ini.
Beberapa
tahun belakangan China atau sekarang sering disebut Republik Tiongkok ini
mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat signifikan. Bahkan dilansir dari
website CNN, China memiliki jaringan bisnis internasional di seluruh benua.
Bahkan karena kelebihan asset yang dimilikinya, Tiongkok berhasil membuat “Big Deal”
dengan Arab Saudi sebesar $ 65 Milyar Dollar.
Kebijakan
Presiden Amerika pada bulan Maret lalu, membuat pemerintah Tiongkok bereaksi sepekan setelahnya.
Lalu apakah kebijakan yang diambil Presiden Trump itu? Ternyata, Presiden Trump
menandatangani keputusan menaikan tarif
impor produk Tiongkok seperti baja dan alumunium senilai USD 60 Milyar atau Rp.
824 Triliun. Hal ini menurut Trump adalah kebijakan untuk menghukum perusahaan Tiongkok
yang memanfaatkan akses tekhnologi Amerika secara tak adil (Berita satu.Tv). Perusahaan Amerika mengeluh, karena apabila mereka mendirikan produksi di Tiongkok mereka
diharuskan melakukan transfer tekhnologi kepada perusahaan setempat. Hal diatas mengingatkan
kita pada kritik Samuelson yaitu
Samuelson prihatin dengan kemampuan untuk mentransfer layanan pengalihdayaan
pekerjaan ke luar negeri yang kemungkinan berakibat pada kekalahan negaranya (Amerika).
Sebelum terjadi Trade War ini, Suzie Sudarman (Dosen Hubungan Internasional UI) mengatakan bahwa "Sudah jelas dia (Trump) anti-globalisasi. Artinya dia akan melakukan upaya
isolasionisme dan proteksi ke dalam negeri. Possible atau tidak only god knows.
Pada dasarnya Amerika Serikat begitu terbirokratisasi, sehingga mengubah
sedikit pun juga susah karena dihalangi oleh National Security Council,
kongres, dan lain-lain. Akan tetapi, Trump akan berusaha untuk memenuhi hal itu
karena dia sudah mengudeta Partai Republik. Jadi dia harus memberikan
janji-janji itu pada pendukungnya. Kalau Republik dibiarkan di bawah
establishment, yang terjadi adalah the usual thing; Business as usual; Orang
liberal, tapi satunya liberal konservatif, satunya liberal liberal. Dia
akhirnya harus melakukan perang dagang ini, misalnya dia menghentingkan NAFTA,
menghapuskan TPP, lalu memajak barang-barang Cina yang masuk, dan mungkin
keluar dari WTO. Jadi konsekuensinya bisa men-destabilize dunia ketika kita
belum perlu itu saat ini. Kita kan lagi susah ya karena depression dimana-mana.
Kalau Amerika tidak lagi beli produk dari seluruh dunia, konsekuensinya dunia
akan macet". (Dikutip dari laman resmi http://hmhi.fisip.ui.ac.id/2016/11/19/president-elect-trump/ )
Dilansir dari VOA, ddi lain sisi petani Amerika merasa cemas apabila Tiongkok membalas menaikan tarif balasan untuk produk pertanian Amerika.Diperkuat dengan pernyataan Biro pertanian Illnois bahwa 51% produk kedelai Amerika di Impor oleh Tiongkok (pengimpor terbesar kedua setelah Kanada). Rencana Beijing menaikan tarif balasan daging, buah dan kacang-kacangan dan berbagai produk pertanian lainya dikhawatirkan memperparah kelesuan ekonomi pertanian Amerika, terlebih sebelum perang dagang ini dimulai, pendapatan pertanian Amerika tahun ini diroyeksi paling rendah sejak 2006 .
Merasa kondisi ekonomi
negaranya akan mengalami bahaya, Hua Chunying (Jubir kemenlu Tiongkok)
menanggapi kebijakan Trump dengan mengatakan Tiongkok tidak akan tinggal diam
ketika hak dan kepentingan mereka diganggu. mereka akan mengambil semua langkah
diperlukan untuk mempertahankan hak dan kepentingan mereka. Dilanssir dari CNN,
Tiongkok melakukan retaliasi (pembalasan) terghadap beberapa produk impor dari Amerika sebanyak US$ 3 Milyar.
Fithra Faisal (peneliti senior Next Policy) mengatakan bahwa kebijakan Trump merupakan
jalan pintas untuk mengatasi defisit neraca perdangan yang semakin membengkak.
Amerika pun akan megalami dampak langsung dari kebijakan ini karena
produk-produk ini adalahkemungkinan dirasakan oleh perekonomian Amerika sendiri
yaitu karena sebagian besar produk yang dikenai tarif ini adalah untuk
kepentingan produksiya kemungkinan besar akan menaikan ongkos produsi terutama
di perusahaan manufaktur, ada 6,5 juta karyawan di sector ini, tidak menutup
kemungkinan akan terjadi PHK. Potensi perang dagang ini ada kecemasan di dunia
internasional. Seperti ropa dan tiongkong yang mulai merespon. Dilihat dari
motivasi Trump, tidak menutup kemungkinan juga merembet pada sector lain. Dan
negara lain juga akan merespon ke sektor lain juga. Itu akan berpengaruh pada
prospek pertumbuhan ekonomi dunia yang mengkerut.
Ekspektasi
IMF pada tahun 2018 ini adalah 3,5 % pertumbuhan ekonomi dunia, namun menurut
perhitungan next policy aka nada potensi koreksi antara 0,5 – 0,8 akibat dari
perang dagang ini. Retaliasi Tiongkok kemungkinan besar tidk hanya pada
kenaikan tariff impor produk Amerika namun pada surat utang atau obligasinya
juga karena Tiongkong menjadi pemegang obligasi yang paling besar di Amerika.
Ada potensi suku bunga internasional yang meroket. Dan surplus barang hasil
produksi di Tiongkok. Shinta Widjaya Kamdani (Waketum Kadin Bagian Hubungan Internasional) mengatakan bahwa kebijakan
ini akan back fire pada Amerika sendiri apalagi beberapa saat yang lalu Amerika
berencana menjadi negara eksportir migas pada 2019 padahal rencana tersebut
membutuhkan pembangunan kilang dan pipa yang cukup besar pula. Ada beberapa negara yang mendapat pengecualian tarif impor yaitu Kanada dan
Meksiko. Hingga sekarang Trump masih mempertimbangkan negara-negara yang
mendapat pengecualian tentu saja dengan syarat negara tersebut dianggap merupakan negara yang "benar-benar teman" bagi Trump.
Indonesia sebagai negara yang memiliki kerjasama bisnis internasional dengan kedua negara raksasa tersebut diperkirakan akan terkena dampaknya. misalnya menurut Ahmad Heri Firdaus (Pengamat ekonomi Indef), saat Amerika menaikan Tarif impor sesungguhnya berlawanan dengan liberalisasi perdagangan yang menekankan pada pengurangan hambatan perdagangan seperti tarif impor tersebut. Hal yang terjadi yaitu Tiongkok akan mengalami surplus hasil produksi ( baja dan aluminium) karena terhambat saat mamasuki pasar Amerika. kemungkinan besar produk tersebut akan berpindah haluan menuju negara-negara lain seperti Indonesia. Karena Indonesia merupakan pangsa pasar terbesar di ASEAN. saat itu terjadi maka Indonesia akan dibanjiri okeh produk dari Tiongkok dan perusahaan lokal yang serupa harus lebih meningkatkan kinerjanya. sementara Indonesia yang merupakan eksportir bahan baku daripada baja dan alumium ke Tiongkok tidak lagi dapat mengirim kesana. terjadilah ketimpangan neraca dagang.
Lebih luas lagi damapak dari perang dagang dua raksasa ini menurut Direktur Jenderal WTO Roberto Azevedo, seperti
dikutip dari BBC, Minggu (1/4/2018), mengatakan ada risiko bahwa perang dagang
akan sebabkan anjloknya pertumbuhan ekonomi global. Komentar Azevedo tersebut
sejalan dengan meningkatnya ketegangan perdagangan antara AS dengan China,
ditandai penerapan tarif impor antara kedua negara tersebut (Dikutip dari Kompas.com 14 Mei 2018).
Komentar
Posting Komentar